Dia mengamati daun-daun sirih belanda yang menjulur memenuhi taman kecil di belakang rumahnya. Daunnya yang menghijau dengan semburat kuning di beberapa tempat sangat segar dipandang mata. Dia sungguh tak menyangka tumbuhan itu akan bertahan hidup.
Beberapa waktu yang lalu, tumbuhan itu tertimbun bahan bangunan. Tidak sekedar satu atau dua buah batu bata, tetapi setumpuk beton bongkaran bangunan. Ya, ia harus merenovasi rumahnya. Akibatnya, beberapa tanaman kesayangannya harus dikorbankan, termasuk sirih belanda yang kala itu masih baru saja ditanamnya. Dia merasa sayang sebenarnya. Sirih belanda memang tanaman yang tidak mahal. Dia bisa saja membelinya lagi. Namun, yang satu ini berbeda. Sirih belanda itu hadiah dari sobatnya sendiri.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Ia sudah melupakan kesedihannya kehilangan tanaman dari sahabatnya. Namun, di suatu pagi yang cerah ia melihat keajaiban yang tak berani diharapkannya: sepucuk kecil sirih belanda muncul dari sisa-sisa bahan bangunan. Betapa terkejutnya ia. Sirih belanda itu ternyata tidak mati! Berikutnya, pucuk-pucuk kecil yang lain bermunculan dari balik sisa bahan bangunan itu. Sampai hari ini sirih belanda itu malah memenuhi taman kecil di belang rumahnya dan naik merambati tembok-tembok belakang rumahnya. Sirih belanda itu memberi nuansa hijau yang segar dengan semburat kuningnya yang cantik di taman.
Dia menghela napas. Sangat dalam. Sirih belanda pemberian sahabatnya itu bertahan di bawah tekanan sisa bahan bangunan. Namun, persahabatannya tidak.
Dia teringat ketika masa suram itu datang menimpanya. Ia diberhentikan dengan semena-mena. Tidak hanya itu saja, ia juga dituduh dengan tuduhan bermacam-macam: koruptor, pencuri, penghasut, dan lain sebagainya. Semuanya itu karena ia tidak mau ikut-ikutan bermain kotor di kantornya. Ganjarannya adalah pengucilan sampai dengan pemecatannya.
Saat itu adalah saat yang sangat gelap buatnya. Namun, yang lebih membuatnya terkejut adalah ketika mendapati kenyataan bahwa orang-orang yang dianggapnya sahabat ternyata tidak seperti yang diduganya. Sahabatnya itu, ikut juga melempar batu kepadanya, ketika ia sedang jatuh terpuruk.
Ia merenung mengingat kembali saat-saat itu. Persahabatan itu ternyata palsu. Ketika harus memilih antara persahataban dengan jabatan, orang ternyata lebih memilih jabatan. Sahabatnya itu harus ikut-ikutan melempar batu kepadanya, bila masih sayang dengan jabatannya.
Kenyataan di depannya itu telak menampar kepercayaannya selama ini. Selama ini ia yakin, tidak mungkin hal-hal duniawi mengalahkan nilai-nilai persaudaraan dan persahabatan. Ternyata, ia keliru. Bila disuruh memilih, orang ternyata lebih suka pada pilihan pragmatis.
Ia kecewa.
Sekarang, bila sedang sendirian di taman belakangnya itu, mau tak mau ia teringat kembali semuanya. Ia sudah kehilangan semuanya. Namun, rimbun sirih belanda di sana seolah membisikkan sesuatu yang lain. Ia tak boleh kehilangan semangat untuk berjuang. Seperti sirih belanda kecil yang tertimbun bahan bangunan tapi tetap berjuang untuk terus tumbuh, ia juga akan terus berjuang.
Sirih belanda itu sekarang tidak lagi membuatnya menangisi sahabatnya. Sebaliknya, tumbuhan itu memberinya semangat baru. Semangat untuk terus melanjutkan hidup dan bertumbuh.
Jauh di lubuk hatinya, ia berterima kasih pada mantan sahabatnya. Sirih belanda pemberian sahabatnya itu telah memberinya setitik embun inspirasi kehidupan.